Published on April 22, 2025
PENDIDIKAN adalah fondasi peradaban. Namun di Indonesia, persoalan akses dan kualitas pendidikan masih menjadi tantangan besar, terutama di wilayah-wilayah 3T—terdepan, terluar, dan tertinggal.
Banyak anak-anak dari keluarga kurang mampu di pelosok negeri masih belum tersentuh oleh pendidikan formal yang layak. Menjawab kondisi ini, pemerintahan Presiden Prabowo meluncurkan sebuah program ambisius: Sekolah Rakyat.
Program ini menjanjikan pendidikan gratis dan berkualitas bagi anak-anak dari keluarga miskin di pelosok negeri. Tapi di balik gebrakannya, muncul pertanyaan kritis dari berbagai kalangan: Apakah Sekolah Rakyat bakalan menjadi solusi berkelanjutan atau hanya jalan pintas populis untuk meredam masalah pendidikan yang telah mengakar lama?
Sekolah Rakyat bukan lahir dalam ruang hampa. Program ini lahir dari kenyataan pahit bahwa ketimpangan pendidikan masih sangat nyata. Meski program-program seperti KIP, BOS, dan digitalisasi sekolah telah digulirkan, banyak daerah masih belum menikmati fasilitas pendidikan yang memadai. Anak-anak harus menempuh perjalanan jauh, bahkan melintasi sungai dan hutan, hanya untuk bisa mengikuti proses belajar.
Di tengah situasi ini, Prabowo dan tim pendidikannya menawarkan Sekolah Rakyat sebagai bentuk intervensi cepat dan masif. Dengan tujuan menjangkau yang tak terjangkau, program ini menyasar langsung anak-anak dari keluarga miskin yang selama ini luput dari sistem pendidikan formal.
Presiden Prabowo Subianto sedang berinteraksi dengan siswa sekolah dasar (Sumedang, 20/01/2025)
"Anak orang kurang mampu tidak boleh miskin. Kalau bapaknya pemulung, anaknya tidak boleh jadi pemulung. Kita harus berdayakan," tandas Presiden Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna (21/03/2025). "Kita ingin menghilangkan kemiskinan dalam waktu secepat-cepatnya. Saya yakin ini bisa kita kerjakan."
Program Sekolah Rakyat digadang-gadang sebagai tonggak baru dalam upaya pemerataan pendidikan dan pemberantasan kemiskinan di Indonesia. Lulusan sekolah ini tidak hanya akan unggul secara akademik, tetap juga memiliki karakter kuat untuk menjadi agen perubahan guna mengubah taraf kesejahteraan keluarganya terlepas dari jerat kemiskinan.
Sekolah Rakyat dirancang sebagai sekolah berbasis komunitas dengan konsep asrama (boarding school) untuk siswa dari keluarga tidak mampu dari jenjang SD, SMP, hingga SMA. Kurikulumnya mengacu pada standar pendidikan nasional, dilengkapi dengan materi khusus penguatan karakter, kepemimpinan, nasionalisme, dan keterampilan kontekstual.
Tujuan utama program ini adalah memuliakan masyarakat kurang mampu dan mendorong mereka untuk hidup lebih maju, agar dapat berperan signifikan dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Program ini menyasar anak-anak dari keluarga yang termasuk dalam desil 1 dan 2 dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), yakni kelompok ekonomi paling rentan.
Pendaftaran Sekolah Rakyat memprioritaskan warga di sekitar sekolah yang memenuhi persyaratan. Semua biaya pendidikan—seragam, makan, asrama, peralatan sekolah, dan lainnya—ditanggung negara secara penuh alias gratis.
Program Sekolah Rakyat dijadwalkan untuk tahun ajaran 2025–2026, dengan rekrutmen guru dan pendaftaran siswa yang telah berlangsung hingga bulan April ini. Sebanyak 60.000 guru penggerak diseleksi sebagai tenaga pengajar, bekerja sama dengan Kemendikdasmen dan Kemenpan RB dalam penugasan guru ASN, PPPK, dan lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Program ini berjalan hasil kolaborasi berbagai Kementerian/Lembaga seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Badan Kepegawaian Nasional, dan pemerintah daerah. Kolaborasi ini meliputi perizinan, penyiapan guru, kurikulum, serta aspek teknis lain.
Meski demikian, terdapat sejumlah keprihatinan dan tantangan yang dihadapi Sekolah Rakyat. Mari kita bedah setiap isu yang mencuat dan fakta-fakta apa yang mengiringinya!
1. Kualitas pendidikan: Apakah lulusan Sekolah Rakyat memiliki kompetensi yang setara dengan sekolah reguler?
- Adanya komitmen kuat dari Pemerintah Daerah dalam mendukung penyelenggaraan Sekolah Rakyat dengan pendampingan teknis dari kementerian/lembaga terkait, termasuk Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama. (Melintas.id)
2. Sertifikasi dan akreditasi: Apakah ijazahnya diakui secara nasional?
- Pentingnya akreditasi bagi Sekolah Rakyat menjadi krusial agar ijazahnya dapat diakui secara nasional. Sehingga banyak ahli berpendapat bahwa pemerintah harus tetap memprioritaskan sekolah-sekolah yang sudah ada. Untuk itu, pemerintah juga merencanakan pembuatan sistem akreditasi yang memastikan standar pendidikan tetap terjaga. (Kompas.com)
3. Isu politisasi dan branding politik: Apakah ini program murni pendidikan atau kendaraan politik?
- Adanya kekhawatiran bahwa Sekolah Rakyat menjadi alat politik yang memperkuat segregasi sosial dan berpotensi melanggengkan diskriminasi dan disparitas pendidikan, telah dibantah oleh pemerintah dengan penegasan kembali Sekolah Rakyat untuk pemerataan pendidikan dan bukan sekadar janji politik. (Neraca.co.id)
4. Masalah pendanaan dan keberlanjutan: Dari mana sumber dananya? Apakah cukup untuk jangka panjang?
- Pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar 20% dari total anggaran pendidikan nasional di APBN 2025, guna memastikan sumber daya yang cukup untuk program Sekolah Rakyat. Selain itu, skema pendanaan juga mempertimbangkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan, sebagaimana diterapkan dalam konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). (Indonesia.go.id)
Respons masyarakat atas program ini cenderung positif. Banyak orang tua yang merasa terbantu karena kini anak-anak mereka tidak perlu lagi menempuh jarak jauh atau mengeluarkan biaya besar untuk sekolah.
Secara garis besarnya, kita patut mengapresiasi fokus program ini dalam memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu secara ekonomi. Namun, tidak semua pihak memandang program ini tanpa kritik. Kalangan akademisi dan pakar pendidikan turut menyuarakan pendapatnya.
1. Prof Tuti Budirahayu dari Universitas Airlangga menyampaikan keprihatinannya mengenai landasan teori program tersebut. Ia mempertanyakan apakah pendirian sekolah-sekolah baru akan memecah-mecah sistem pendidikan yang sudah ada, bukan malah memperkuatnya. (Goodnewsfromindonesia.id)
2. Dr. Subarsono dari Universitas Gadjah Mada mengkritik pelaksanaan program yang berada di bawah Kementerian Sosial, dengan alasan bahwa program tersebut harus dikelola oleh Kementerian Pendidikan. Ia juga menyarankan perbaikan sekolah yang sudah ada dibandingkan membangun sekolah baru. (UGM.ac.id)
Ditambah lagi kekhawatiran lainnya dari pemerhati dunia pendidikan di Indonesia yang merasa bahwa program Sekolah Rakyat beresiko menjadi inisiatif populis jangka pendek dan bukan solusi berkelanjutan. Begitu pula anggapan bahwa Sekolah Rakyat terlalu fokus pada infrastruktur fisik tanpa mengatasi permasalahan yang lebih mendalam seperti kualitas guru dan pengembangan kurikulum.
Sekolah Rakyat digadang-gadang sebagai tonggak baru dalam upaya pemerataan pendidikan dan pemberantasan kemiskinan di Indonesia
Respons yang bervariasi ini menyoroti perlunya perencanaan dan pelaksanaan yang cermat untuk memastikan program mencapai tujuan yang diharapkan.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mencoba menjawab ketimpangan pendidikan dengan pendekatan alternatif. Di India, program School on Wheels menyediakan pendidikan keliling bagi anak-anak miskin perkotaan. Di Pakistan, low-cost private schools menjamur untuk menjangkau anak-anak miskin dengan biaya terjangkau. Di Amerika Serikat, konsep community-based homeschooling menjadi solusi di wilayah rural.
Dari program-program ini, terlihat bahwa fleksibilitas dan keterlibatan komunitas adalah kunci. Namun tetap dibutuhkan sistem akreditasi yang kuat agar pendidikan alternatif tetap memiliki standar dan pengakuan yang setara.
Jika dikembangkan secara serius, Sekolah Rakyat bisa menjadi jembatan penting menuju sistem pendidikan nasional yang lebih merata. Namun pemerintah harus mulai merancang skema integrasi Sekolah Rakyat ke dalam sistem pendidikan formal.
Termasuk di antaranya adalah pendataan ke Dapodik, pelatihan berkelanjutan bagi pengajar, serta pengembangan kurikulum yang relevan namun tetap terstandar.
Program ini juga harus dijauhkan dari pendekatan politis jangka pendek. Jika ingin benar-benar menjadi solusi berkelanjutan, Sekolah Rakyat harus dikelola dengan visi jangka panjang, kolaborasi multisektor, dan komitmen pendanaan yang stabil.
Potret Sekolah di daerah pedalaman wilayah Indonesia
Sekolah Rakyat adalah jawaban cepat atas kebutuhan mendesak, tetapi belum tentu solusi jangka panjang. Program ini membuka akses dan memberi harapan, namun juga menimbulkan pertanyaan tentang kualitas, keberlanjutan, dan integrasinya dalam sistem pendidikan nasional.
Apakah Sekolah Rakyat akan menjadi titik balik dalam sejarah pendidikan Indonesia atau hanya percikan sesaat yang akan padam? Jawabannya terletak pada bagaimana negara ini mengelola program ini ke depan—dengan kebijaksanaan, bukan sekadar ambisi.
***
Mari Bertualang dan Belajar Bahasa Inggris di
Bergabung dan dapatkan lebih banyak berita menarik serta penawaran khusus!